Di Kota Bunga, Malang, Jawa Timur, ada seorang auliya’ yang terkenal karena
ketinggian ilmunya. Ia juga hafal ribuan hadits bersama dengan sanad-sanadnya.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawi dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawi dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi
harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad
mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi
malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil
mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar
disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir,
dengan harapan, Allah SWTmemberikan nama
maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi
nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul
Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam
mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam
menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar
terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya.
Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian
filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah
suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan
diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar.
Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang
guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka
hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri
hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang
murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain,
Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur,
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, HabibMuhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin
Hasan Alaydrus, Syekh ImamMuhammad bin
Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain
Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad
Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah
hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang
hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang
telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang
gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga
Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf
serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum
berhijrah ke Indonesia,
Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan
perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan,
India, Malaysia,
danSingapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia
selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan
dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung
diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan
Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji
di Makkah, sekembalinya ke Indonesiatanggal
12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan
Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata
kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia
ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan
badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits,
penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di
samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang
tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling
tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas
Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian
besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa
daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah
Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak
santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan
ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), HabibMuhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in
Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura).
Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun
alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Diringkas dari manaqib tulisan Habib Soleh
bin Ahmad Alaydrus, pengajar Ponpes Darul Hadits Malang, Jawa Timur.
BIOGRAFI
AL_Imam AL_Qutb AL_Musnidz Al_AL_Hafidz Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bil Faqih Al Alawi
Habib Abdullah bin Abdul Qodir bil Faqih
Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang), Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.
Bak Pinang Dibelah Dua Bapak
dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama
pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib
Abdullah.
Masyarakat
Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama
kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana.
Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib
Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah
untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi
ilmunya.
Ketika
menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam
Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh
sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa
bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal
1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul
Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian
diberi nama Abdullah.
Sesuai
dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir
pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya
itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih
berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal
itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja
sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak
sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing
dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan
semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang
dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan
At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang,
kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits
Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan
itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai
murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah
berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah
jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin
agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun
berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak
hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah
hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut
perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.
Empat Madzhab
Selain
dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf
dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia
mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah
ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H),
otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok
peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga
Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan
penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti
penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta
Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang.
Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana
ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung.
Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama
menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik
yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian
dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai
guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir
setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol
para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya
tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika
ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya
serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter.
Seperti
halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan
kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa
tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq,
yang bathil tetap dikatakannya bathil.
Sikap
konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja
ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap
kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah
selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato
maupun tulisan.
Habib
Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media
cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib
Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November
1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi
panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang,
jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman
Kasin, Malang, Jawa Timur.
Ayahanda beliau
Ayahanda beliau
Habib Abdullah (kiri) dan ayahanda beliau habib Abdul Qodir Bil Faqih (Kanan )
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy
Habib
Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim,
Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan
menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin
Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir
Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci
Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar
diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.”
Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir.
Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya.
Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz.
Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya.
Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.”
Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M.
Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim.
Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M.
Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M.
Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.
Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah.
Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini.
Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.
perlu adanya penambahan pada blog ini
BalasHapus